Alkisah, pada
masa dahulu, di wilayah sekitar Tanjung Batu banyak perampok. Rakyat merasa
tidak nyaman dengan ulah para perampok yang kian merajalela, baik siang maupun
malam, baik di perairan sungai maupun di darat. Sampai kemudian datang seorang
pandai besi yang konon berasal dari tanah Jawa. Orang yang kemudian dikenal
dengan nama Puyang Sampurayo ini ternyata memiliki ilmu kanuragan yang tinggi
di samping memiliki keahlian membuat alat-alat pertanian, khususnya senjata
tajam (parang/golok).
Menyaksikan
keganasan para perampok yang sering mengganggu penduduk itu membuat Puyang
Sampurayo gerah. Dengan dibantu beberapa penduduk ia pun mencoba melawan para
perampok yang datang ke kampung. Sampai akhirnya tak satu pun perampok yang
lolos dari cengkramannya. Para perampok yang menyadari kekeliruannya dan
menyerah dimaafkan dan bahkan ada yang tinggal di desa tersebut. Sementara
mereka yang terus melawan terpaksa juga dilawan dengan kekerasan.
Lama kelamaan
para begundal yang tersisa pun ketakutan setelah mendengar banyak teman-teman seprofesinya yang
ditangkap maupun yang mati di tangan Puyang Sampurayo. Akhirnya mereka pun ada
yang menyerahkan diri secara baik-baik dan ada pula yang justru menjauh
menghindari desa sekitar itu.
Kabar tentang
kegagahberanian Puyang Sampurayo cepat menyebar ke mana-mana. Bahkan sampai
pula ke telinga penguasa di daerah itu, yaitu Raja Usang Gobang. Usang Gobang
merasa iri mendengar kabar kesaktian Puyang Sampurayo. Terlebih rakyat pun
sangat banyak yang simpatik terhadap budi baik Puyang dari tanah Jawa itu.
Karena di samping ia memiliki ilmu beladiri yang hebat, Puyang juga dikenal
sebagai orang yang rendah diri dan suka menolong.
Di sisi lain,
sebenarnya rakyat sendiri banyak yang kurang simpatik dengan Raja Usang Gobang.
Sebab ia dikenal rakyat sebagai raja yang sombong dan congkak. Bahkan sering
berlaku sewenanmg-wenang terhadap rakyat. Karena sikap rakyat yang banyak
simpatik terhadap Puyang Sampurayo inilah Raja Usang Gobang merasa cemburu dan
iri. Ia tidak rela diperlakukan seperti itu oleh rakyatnya. Maka ia pun
memutuskan utntuk membuat suatu perhitungan terhadap Puyang Sampurayo.
Dibuatnya rencana khusus untuk menjebak atau melenyapkan Sang Puyang.
Suatu hari Raja
Usang Gobang memerintahkan beberapa orang pasukannya pergi ke rumah Puyang
Sampurayo. Ia akan memerintahkan Puyang membuat sebuah parang bertuah yang
diperkirakan tidak akan mampu dibuat oleh Mpu pandai besi itu. “Sampaikan
kepada Puyang Sampurayo bahwa aku minta dibuatkan sebuah parang sakti dalam
satu minggu ini. Beritahukan sama dia, bahwa sebagai bukti kesaktian parang
itu, parang itu tidak akan mampu diangkat oleh tujuh orang yang berilmu tinggi
sekalipun, selain olehku.” perintah Usang Gobang dengan nada tinggi. Ia yakin,
Puyang Sampurayo tidak akan mampu memenuhi permintaannya itu. “Baik, Paduka
Raja. Apa ada perintah lain, Paduka?” Tanya seorang prajurit yang hendak
diutus. “Kalau dia tidak sanggup, maka kepalanyalah yang akan menjadi
taruhannya! Ingat, hanya satu minggu!” tandas Usang Gobang.
Prajurit yang
diutus itu pun bergegas undur diri setelah memberi hormat. Ia dan beberapa
kawannya langsung menuju ke rumah Puyang Sampurayo. Saat itu, kebetulah Sang
Puyang berada di rumahnya. Ia tengah membuat beberapa parang bersama beberapa
anak buahnya. Di desa tersebut, parang buatan Puyang sudah sangat dikenal baik
mutunya .
Setelah
dipersilakan masuk ke dalam rumah oleh Puyang Sampurayo, prajurit itu pun
menyampaikan maksud kedatangannya seperti halnya yang diperintahkan Raja Usang
Gobang. “Maaf Puyang, kami hanya menyampaikan perintah!” ucap seorang prajurit
setelah ia menyampaikan pesan rajanya. “Aku maklum dengan kalian. Tapi rasanya,
permintaan Raja Usang Gobang itu berat sekali. Sedangkan untuk membuat parang
biasa saja kami memerlukan waktu beberapa hari.” ucap Puyang Sampurayo mencoba
tenang. Tetapi walau bagaimanapun, ia tidak bisa menolak permintaan Raja Usang
Gobang. Sebab alternatifnya, kepalanyalah yang akan jadi taruhan! “Sampaikan
pada Paduka, aku akan berusaha semampuku.” lanjut Puyang kemudian.
Setelah
mendengar keputusan Puyang Sampurayo, para prajurit itu pun kembali ke istana.
Mereka akan mengabarkan kepada rajanya apa-apa yang telah disampaikan pandai
besi yang dikenal sakti itu. “Puyang Sampurayo menyanggupinya, Paduka, meski
kelihatannya beliau sangat berat hati.” lapor seorang prajurit. “Bagus. Kalau
begitu, kita tunggu saja dalam seminggu ini. Pas pada hari ketujuh aku akan
datang mengambilnya, atau pandai besi itu disuruh menyerahkan kepalanya!” Raja
usang Gobang tersenyum puas. Ia yakin, Puyang Sampurayo tidak akan berhasil
membuat parang sakti seperti yang dikehendakinya.
Sementara itu,
di rumahnya, Puyang Sampurayo bepikir keras untuk memenuhi permintaan Raja
Usang Gobang. Ia merasa tidak mengerti dan sangat bingung untuk memenuhi
permintaan Usang Gobang yang dirasakan aneh dan mengada-ada itu. Sebagai orang
yang sudah sarat dengan pengalaman, Puyang Sampurayo bermenung sejenak sambil
memhohon pada Yang Maha Kuasa agar diberi petunjuk. Akhirnya, setelah lama
berpikir, ia mendapat akal untuk membuat sebuah parang yang berat dan besar.
Parang itu akan dibuatnya dari besi seberat dua pikul (dua kuintal).
Mulai hari itu
juga, dibantu beberapa anak buahnya, Puyang Sampurayo segera mencairkan segala
besi yang ada. Pesanan dari penduduk pun terpaksa ia hentikan. Kabar permintaan
Usang Gobang terhadap Puyang segera tersiar ke seluruh masyarakat. Mereka
banyak yang prihatin, namun tidak bisa membantu secara langsung. Mereka hanya
bisa berdoa agar Sang Puyang dapat memenuhi permintaan dari raja mereka yang
dikenal congkak itu.
Setiap hari,
siang dan malam, Puyang Sampurayo terus bekerja untuk membuat parang tersebut.
Tidak lupa ia pun berdoa kepada Sang Maha Pencipta agar parang itu pun diberi
tuah. Hingga pada akhirnya sampailah hari ketujuh seperti yang dijanjikan.
Usang Gobang, yang tentu saja bersama para prajuritnya, akan datang mengambil
parang itu atau kepalanyalah yang akan dipenggal Sang Raja.
Sepanjang jalan,
Usang Gobang selalu tersenyum dan tertawa penuh kemenangan. Ia mengira Puyang
Sampurayo tidak bisa melaksanakan perintahnya untuk membuat sebuah parang sakti
yang tidak bisa diangkat oleh tujuh orang prajurit. Ia sengaja datang pagi-pagi
untuk membuat kejutan. Atau setidaknya, ia meyakini bahwa pagi itu parang yang
dipesan pasti belum jadi.
Setelah tiba di
rumah Puyang Sampurayo, Raja Usang Gobang tercengang melihat parang panjang dan
besar yang sudah disiapkan, terpasang melintang pada beberapa cagak kayu. Ia
melihat parang itu sudah jadi dan tampak sempurna. “Maaf Paduka Raja,
sebenarnya parang ini belum sempurna benar. Hamba baru selesai menyepuhnya
sehingga parang ini masih sangat panas.” ucap Puyang Sampurayo.
Raja Usang
Gobang tidak menyahut. Ia langsung memerintahkan kepada tujuh anak buahnya
untuk mengangkat parang tersebut sebagai uji coba. Namun ternyata ketujuh anak
buahnya tak mampu mengangkat parang sakti yang berat dan sangat panas itu.
Tangan dan pundak mereka melepuh. Mereka menjerit kesakitan.
Darah Usang
Gobang mendesir. Ternyata dugaannya meleset jauh. Hatinya mengumpat dan mencaci
maki Puyang Sampurayo. Meski ia sangat marah namun ia mencoba menahannya.
Dengan kesombongannya ia menyuruh anak buahnya menyingkir. Usang Gobang mendekat untuk mengangkat parang
tersebut. “Enyahlah kalian! Mengangkat parang seperti ini saja kalian tidak
mampu!” hardik Usang Gobang.
Sebenanrnya
Usang Gobang pun sangat menyadari bahwa parang tersebut berat dan panas. Ia
mulai ragu, jangan-jangan ilmu yang dimilikinya pun tidak akan mampu untuk
mengangkat parang tersebut. Tetapi karena rasa gengsinya dan amarahnya sudah
meluap, ia tetap maju untuk mengangkat parang tersebut.
Begitu sudah di
dekat parang, Usang Gobang membaca beberapa mantra. Lalu kedua tangannya
menyentuh parang itu untuk diangkat. Ia tersenyum sejenak karena mantranya
dianggap ampuh. Namun sesaat kemudian bibirnya mulai meringis, matanya mulai
merah dan berair. Demikian juga keringat di keningnya mulai berjatuhan. Ia
sungguh tak menyangka bahwa parang tersebut memang demikian panas dan berat.
Namun ia tetap memaksakan diri. Kedua tangannya mulai melepuh dan terbakar. Ia
terus mencoba menyangga dengan pundaknya. Pundaknya itu pun melepuh dan
terbakar. Namun Raja yang sombong itu tampaknya tidak mau menyerah. Ia merasa
malu kalau harus menyerah begitu saja. Akhirnya Raja Usang Gobang mati dengan
tubuhnya yang hangus, terbakar oleh hawa panas parang bertuah buatan Puyang
sampurayo.
Konon, sampai
sekarang kuburan Puyang Sampurayo masih ada di Desa Burai, Tanjung Batu.
Kuburan tersebut dikeramatkan warga sekitarnya. Sampai sekarang pula, di
wilayah tersebut masyarakatnya banyak yang menjadi pandai besi.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar