Di
sebuah kota tinggallah seorang saudagar kaya. Putranya bernama Mahmud. Teman
Mahmud banyak sekali. Ia juga sering menjamu teman-temannya makan malam. Suatu
hari Pak Saudagar Kaya bertanya pada anaknya, “Mahmud, siapakah mereka yang
sering datang ke rumah ini?” “Mereka teman-temanku, Ayah,”jawab Mahmud.
Esok
harinya, Pak Saudagar Kaya kembali bertanya pada anaknya. Jawaban Mahmud tetap
sama. Akhirnya Pak Saudagar Kaya mengusir Mahmud dari rumahnya. Dengan sedih
Mahmud pergi ke rumah seorang temannya. “Kawan, aku diusir ayahku. Bolehkah aku
bermalam di rumahmu?” pinta Mahmud. “Ah, Mahmud! Sayang sekali, tak ada kamar
kosong di rumahku. Kasihan sekali nasibmu!” jawab temannya itu.
Mahmud
lalu mengunjungi rumah temannya yang lain. Namun semua memberi jawaban yang
sama. Mahmud terpaksa bermalam di jalan. Setelah tiga minggu berlalu, datanglah
pelayan ayahnya sambil berkata, “Tuan Muda, Tuan diminta kembali oleh ayah
Tuan!” Maka kembalilah Mahmud kepada ayahnya. Setibanya di rumah, ayahnya
berkata, “Anakku, seorang teman sejati tak akan membiarkan temannya dalam
kesulitan. Mereka bukanlah teman sejati. Mereka berteman denganmu hanya karena
uang! Jadi, hati-hatilah dalam memilih teman!”.
Setelah
memberi nasihat, Pak Saudagar Kaya pergi ke pasar. Di sebuah tempat yang sepi,
ia melihat seorang laki-laki terbunuh. Ia lalu mendekat untuk menolong
laki-laki itu. Namun malang benar nasibnya! Ia malah disangka membunuh
laki-laki itu. Polisi menangkapnya dan membawanya ke penjara.
Pengadilan
menjatuhkan hukuman gantung kepadanya. Mendengar berita itu teman-teman Pak
Saudagar Kaya merasa iba. Mereka lalu beramai-ramai datang menghadap Hakim. “Yang
Mulia Bapak Hakim, tolong bebaskan kawan saya ini. Ia pasti tidak bersalah.
Saya akan memberikan seluruh harta milik saya kepada Yang Mulia, andai Pak
Saudagar Kaya dibebaskan!” seru Pak Peternak, sahabat Pak Saudagar Kaya.
Namun
Hakim tetap pada keputusannya. “Yang Mulia, bebaskanlah teman hamba ini. Jika
Yang Mulia menginginkan jaminan, saya bersedia menjadi penggantinya. Gantunglah
saya, sebagai ganti Pak Saudagar Kaya!” tantang Pak Pedagang Kain. Mendengar
kata-kata Pak Pedagang Kain, Hakim berpikir keras. Ia meminta kepada polisi
untuk menyelidiki perkara pembunuhan sekali lagi. Akhirnya polisi menemukan
pembunuh yang sebenarnya. Pak Saudagar Kaya pun dibebaskan.
Ketika
Pak Saudagar Kaya sampai di rumah, ia berkata kepada Mahmud, “Anakku, lihat!
Mereka itulah kawan-kawan sejatiku. Mereka tidak meninggalkan aku dikala aku
susah. Kau harus mencari teman yang demikian!”. Mahmud mengangguk-angguk. Pak
Saudagar Kaya lalu berkata lagi, “Nah, kini kuberikan kau seratus dinar.
Pergunakanlah uang ini sebaik-baiknya!” Mahmud menerima pemberian ayahnya
dengan senang hati. Ia membuka sebuah toko kecil. Setelah beberapa lama
Saudagar Kaya datang mengunjungi toko anaknya dan bertanya, “Anakku, berapa
besar penghasilanmu sekarang?” “Seribu dinar, Ayah,” jawab Mahmud bangga.
“Baik
sekali!” puji Pak Saudagar Kaya, “Kau telah berhasil dengan baik. Sekarang,
kembalilah kepadaku. Kita akan menjadi kawan berdagang yang baik!” Mahmud
setuju. Suatu ketika ayah dan anak itu berjalan menyusuri tepi sungai.
Tiba-tiba Pak Saudagar Kaya meminta uang Mahmud yang berjumlah seribu dinar. Tanpa
disangka, ayahnya membuang kantung berisi seribu dinar itu.
“Apakah engkau merasa
sedih, anakku?” tanya Pak Saudagar Kaya. “Ya, tentu saja,” jawab Mahmud, “Uang
itu aku cari dengan susah payah.” Sekarang engkau merasakan, bagaimana perasaan
seseorang yang jerih payahnya dibuang percuma,” kata Pak Saudagar Kaya.
“Begitulah perasaanku dulu. Ketika kau berpesta pora dengan teman-temanmu.” Mahmud
pun mengerti maksud ayahnya. Sejak itu Mahmud berjanji tak akan
menghambur-hamburkan uangnya dengan percuma
Tidak ada komentar :
Posting Komentar