Dahulu kala di
kawasan puncak tepatnya di lereng Gunung Lemo kompleks Pegunungan Mega Mendung
terdapat sebuah kerajaan besar bernama Kerajaan Kutatanggeuhan, nama kerajaan
ini berasal dari kata "Kuta" yang berarti tempat dan
"Tanggeuhan" yang berarti andalan. Kerajaan ini sering disebut
Kerajaan Kemuning Kewangi.
Kerajaan ini
dipimpin oleh seorang raja yang arif dan bijaksana bernama Prabu Swarnalaya.
Beliau didampingi oleh seorang permaisuri yang baik hati dan bersifat keibuan,
bernama Ratu Purbamanah. Dalam masa kepemimpinan Prabu Swarnalaya, kerajaan ini
mengalami masa keemasannya, negeri ini terkenal damai, subur, makmur, dan
tentram. Tak ada satupun keluarga yang kekurangan sandang, pangan maupun papan.
Walaupun demikian nampaknya Sang Prabu dan Permaisuri belum merasa bahagia karena
setelah bertahun-tahun membina hubungan suami istri merek belum juga dikarunia
seorang putra. Berbagai upaya telah dilakukan seperti meminum ramuan
tradisional, konsultasi dengan dukun beranak,
dan berbagai usaha lainnya namun tidak berhasil.
Hingga suatu
hari, Sang Prabu memutuskan untuk bertapa (semedi) memohon bantuan Yang Maha
Kuasa. Setelah sekian lama beliau bersemedi dengan khusuk, maka pada suatu hari
beliau mendengar suara gaib yang berkata "Wahai cucuku Prabu Swarnalaya,
apakah yang engkau inginkan? Mintalah kepada Tuhan-Mu!" "Hamba ingin
sekali memeliki seorang anak". "Kalau begitu pulanglah", jawab
suara itu kemudian.
Tidak lama
kemudian seteleh peristiwa itu terjadi, Sang Permaisuri dinyatakan hamil.
Sembilan bulan sepuluh hari kemudian lahirlah seorang Puteri yang diberi nama
Nyi Mas Gilang Rukmini, ada pula yang menyebutnya Nyi Mas Ratu Dewi Kencana
Wungu Kuncung Biru. Kehadiran Sang Puteri disambut meriah dengan mengadakan
pesta tujuh hari tujuh malam sebagai ungkapan kegembiraan yang tidak terhingga.
Berbagai hadiah dan bingkisan berdatangan dari berbagai kerajaan termasuk dari
warga Kerajaan Kutatanggeuhan sendiri.
Semakin dewasa
Sang Puteri semakin menampakkan kecantikannya. Dan sebagai puteri tunggal, tak
heran bila kedua orang tuanya beserta warga kerajaannya sangat memanjakannya. Menginjak
usia ke-17, kecantikan Sang Puteri tidak ada duanya di seluruh tanah Pasundan.
Dalam perayaan hari ulang tahunnya yang ke-17, Puteri Gilang Rukmii
menginginkan agar tiap helai rambutnya dihiasi emas permata. Mendengar
keinginan Sang Puteri, seluruh warga dari berbagai pelosok negeri ingin
menyumbangkan sebagian hartanya agar keinginan Sang Puteri dapat terwujud.
Karena
kearifannya, maka Sang Prabu menyarankan agar harta-harta sumbangan tadi
disimpan dan dipergunakan untuk kepentingan umum. Untuk memenuhi keinginan Sang
Puteri, beliau hanya mempergunakan sebagian harta tersebut untuk dijadikan
sebuah perhiasan yang indah. Perhiasan tersebut dibuat oleh seorang Mpu yang
sangat ahli. Dengan kemampuannya Sang Mpu membuat sebuah kalung yang sangat
indah.
Ketika saatnya
tiba, datanglah berbondong-bondong warga kerajaan Kutatanggeuhan untuk
menyaksikan acara ulang tahun Sang Puteri. Pada acara itu Sang Prabu secara
langsung menyerahkan hadiah ulang tahun berupa kalung buatan Mpu kepada Puteri
diiringi sorak-sorai gembira warga.
Setelah kalung
diberikan, Sang Puteri bukannya menerima dengan senang hati, malah
melemparkannya hingga putus dan bercerai-berai. Menyaksikan peristiwa tersebut
semua hadirin membisu dan diam terpaku. Dalam kebisuan dan keheningan itu
terdengarlah tangisan Permaisuri dan seluruh warga kerajaan terutama kaum
isteri yang tak henti-henti. Mereka bertanya-tanya mengapa Puteri tidak mau
menerima hadiah tersebut?
Pada saat yang
bersamaan timbul suatu keajaiban, bumi bergoncang dan dari permukaan tanah
keluarlah air yang semakin lama semakin membesar sehingga membentuk sebuah
danau/telaga. Danau itu semakin lama semakin meluas sehingga menenggelamkan
Kerajaan Kutatanggeuhan beserta segala isinya. Dan dari dasar telaga
memancarkan cahaya berwarna-warni yang diduga berasal dari kalung yang telah
bercerai berai. Karena itulah, danau tersebut dinamakan Telaga Warna.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar