AKISAH di suatu
desa berdirilah sebuah mushola kecil, tempat beribadah masyarakat yang berada
di sekitarnya. Selain menjadi tempat ibadah, mushola tersebut sering dipakai
untuk bermusyawarah, hingga akhirnya mushola itu dijadikan tempat berkumpul
masyarakat untuk menyelesaikan masalah-masalah yang menyangkut kehidupan
sehari-hari.
Pada suatu hari,
datanglah masyarakat berbondong-bondong ke mushola kecil tersebut. Mereka
menemui ustadz Wahid, pengurus mushola itu. Pak Ahmad, salah seorang warga masyarakat,
maju ke depan dan bercerita kepada ustadz Wahid bahwa terjadi perselisihan
perkara tanah antara Pak Tio dan Pak Sidik di balai desa. Ustadz Wahid diminta
oleh masyarakat agar menyelesaikan perkara tersebut. Ustadz Wahid pun pergi ke
balai desa. Di balai desa, Ustadz Wahid berbicara dengan kedua belah pihak.
Masing-masing pihak mengakui bahwa tanah kosong di belakang mushola tersebut
adalah miliknya. Tentu saja hal itu sangatlah tidak mungkin. Lalu ustadz Wahid
meminta kepada masing-masing pihak untuk berkata sejujur-jujurnya dan apa
adanya. Namun hingga senja tiba, kedua belah pihak tetap mengakui bahwa tanah
itu milik mereka masing-masing. Ustadz Wahid heran. Kemudian ustadz Wahid
memberi usul, bagaimana kalau tanah itu dibagi dua saja. Tapi masing-masing
pihak menolak usulan ustadz Wahid, dan bersikeras terhadap pendiriannya
masing-masing. Sampai larut malam mereka masih tetap seprti itu. Usatdz Wahid
akhirnya memutuskan bahwa perkara ini akan diselesaikan besok pagi di mushola
tempat ia tinggal. Dan masing-masing pihak diminta untuk menyiapkan seorang
saksi.
Keesokan
harinya, kedua belah pihak itu datang ke mushola. Setelah saksi kedua belah
pihak datang, barulah musyawarah itu dimulai. Saksi dari kedua belah pihak
diminta maju ke depan untuk disumpah. Satu persatu saksi pun disumpah dengan
memakai sehelai selendang di hadapan kitab suci Alqur'an.
"Saya
berjanji di mushola ini, di depan Al-qur'an, demi Allah bahwa tanah yang ada di
belakang mushola ini adalah milik Pak Sidik. Saya yang melihat dan mendengar
dengan kepala dan telinga saya sendiri. Ki Ahmad memberikan wasiatnya kepada
Pak Sidik sebelum meninggal!" ucap Rahmat, saksi dari pihak Pak Sidik.
"Benar?"
tanya Ustadz Wahid. "Semua itu bohong belaka, Ustadz. Kalian tak boleh
berkata seenaknya. Kami dari pihak Pak Tio, sudah mempunyai bukti yaitu surat
wasiat KI Ahmad. Surat ini baru kami dapatkan dari orang yang biasa
membersihkan kamarnya. Surat ini ditemukan di bawah kasur tempat tidurnya Ki
Ahmad!" jelas Randik, saksi dari pihak Pak Tio sambil memperlihatkan surat
wasiat tersebut.
Semasa hidupnya
Ki Ahmad dikenal sebagai sesepuh desa yang dikenal juga sebagai ulama. Namun
sayang, sampai akhir hayatnya Ki Ahmad belum pernah menikah dan tidak mempunyai
anak. Sementara itu, kekayaan milik Ki Ahmad tidak ada yang mengurusnya. Hingga
akhirnya orang-orang terdekatnya yang dianggap sebagai anak angkat oleh Ki
Ahmad sekarang sedang berebut harta kekayaan milik beliau.
Akhirnya, dengan
melihat beberapa saksi dan bukti yang meyakinkan, Ustadz Wahid bersama
ulama-ulama yang lain memutuskan tanah itu adalah milik Pak Tio. Semua yang
mendukung Pak Tio bertepuk tangan gembira. Sementara pihak dari Pak Sidik
terlihat muram dan sedih.
Pada malam
harinya terdengar berita bahwa Randik, saksi dari pihak Pak Tio tiba-tiba jatuh
sakit. Menurut tabib yang memeriksanya, ia terkena penyakit keras yang sudah
sangat parah. Beberapa hari kemudian ia meninggal dunia. Pak Tio ketakutan. la
merasa bersalah telah menyuruhya untuk bersumpah palsu di hadapan seluruh warga
desa. Akhirnya, Pak Tio mengaku bahwa dirinya telah berdusta dan membuat surat
wasiat palsu. Pada malam harinya, rumah Pak Tio habis dilalap api. Istri dan
anak-anak Pak Tio dapat diselamatkan. Namun Pak Tio tidak bisa diselamatkan
lagi. Itulah takdir yang harus Pak Tio terima, karena ia telah membohongi
seluruh warga desa. Dari kejadian itu warga desa pun menerima hikmahnya.
Kemudian diputuskan bahwa sisa-sisa kekayaan Ki Ahmad akan diwaqafkan dan
dipakai untuk membangun mushola dan desa.
Semenjak
peristiwa yang menimpa Pak Tio, tak pernah lagi terdengar perselisihan perkara
tanah. Namun beberapa waktu kemudian masalah-masalah kembali bermunculan. Pada
suatu malam, terdengar ada seseorang berteriak meminta pertolongan. Ustadz
Wahid mendengarnya. Ustadz Wahid pun pergi untuk mencari dari mana asal suara
tersebut. Setelah sampai di tempat asal suara tersebut, ustadz Wahid melihat
sudah banyak warga desa berdatangan.
"Ada apa
ini?" tanya ustadz Wahid heran. "Begini, Pak Ustadz, rumah Fatimah
kecurian. Semua barang-barang berharganya dibawa kabur oleh pencuri!"
jawab orang yang menyaksikan peristiwa tersebut. Kemudian ustadz Wahid masuk ke
dalam rumah Fatimah. Ustadz Wahid menemukan Fatimah sedang menangis. Lalu
ustadz Wahid berusaha menenangkannya. Setelah Fatimah tenang, ustadz Wahid
pamit pulang dan ustadz Wahid berjanji akan mencari pencurinya.
Pada keesokan
paginya, ada seseorang yang datang ke mushola untuk menemui ustadz Wahid. Orang
itu bermaksud untuk berkenalan dengan ustadz Wahid. Orang itu adalah seorang warga
yang baru pindah dari kampung sebelah yang bernama Fikar. Orang itu meminta
ustadz Wahid datang bersama beberapa warga desa lainnya untuk menghadin
syukuran. Ustadz Waliid menerimanya dan ia berjanji akan mengajak teman-teman
warga desa lainnya. Sesampainya di rumah Pak Fikar, ustadz Wahid dan warga desa
yang lainnya disuguhi berbagai macam makanan yang enak dan lezat. Semuanya
merasa senang termasuk ustadz Wahid, terkecuali Pak Umar, suami dari Fatimah
yang baru kemarin malam kecurian. Pak Umar merasakan ada sesuatu yang aneh
mengganjal di hatinya. Benar saja, ia melihat emas milik istrinya dipakai
istrinya Pak Fikar dan ia Juga melihat kalau Pak Fikar memakai cincin batunya
yang hilang kemarin malam. Tentu saja Pak Umar merasa curiga, jangan-jangan pencurinya
adalah Pak Fikar bersama komplotannya.
Setelah acara
usai, terlihat Pak Umar sedang terdiam di teras depan rumah Pak Fikar. Lalu
ustadz Wahid menghampinnya. "Ada apa, Pak Umar? Saya melihat anda dari
tadi diam saja," tanya ustadz Wahid. "Pak ustadz, saya merasa ada
yang aneh di sini. Saya melihat emas milik istri saya dipakai oleh istrinya Pak
Fikar. Saya juga melihat cincin batu peninggalan bapak saya dipakai oleh Pak
Fikar" jelas Pak Umar.
"Mungkin
kebetulan saja macam dan bentuknya satna!" ustadz Wahid mengelak. "Tidak,
ustadz. Saya yakin bahwa Pak Fikar adalah seorang pemimpin komplotan pencuri
yang merampok rumah saya kemarin malam. Tidak mungkin ada emas yang sama
seperti milik istri saya, karena saya khusus memesan satu untuk istri saya. Dan
cincin batu itu bapak saya yang membuatnya. Jadi, tidak mungkin ada yang
menyamainya. Apalagi dari kampung sebelah."
"Awalnya
saya juga merasakan ada sesuatu, tapi perasaan itu hilang saat saya mengetahui
kalau Pak Fikar adalah anak dari kakaknya Ki Ahmad. Tapi perasaan itu sekarang
muncul kembali setelah saya dengar pengakuan dari Pak Umar!" ucap ustadz
Wahid setengah terkejut. Setelah ustadz Wahid pulang, Pak Umar dan beberapa
kawannya mencoba menemui Pak Fikar.
Pak Umar
mengetuk pintu. Istri Pak Fikar yang membukanya dan memberitahu kalau Pak Fikar
sudah tidur. Kemudian, kawan-kawan Pak Umar mencobanya. Dan ternyata, mereka
berhasil menemui Pak Fikar. Mereka mencoba mencari tahu tentang cincin dan emas
yang ada di tangan Pak Fikar dan istnnya. Sementara itu Pak Umar mengintip dan
balik dinding tembikar.
`'0h, ya, Pak
Fikar. Cincin yang anda pakai bagus sekali. Dapat dan mana cincin itu?" "Cincin
ini saya dapat kemann dari kakak saya. Saya baru saja mendapatkan warisan yang
cukup besar dari kakak saya. Selain itu saya juga mendapat emas dari kakak
saya!" jawab Pak Fikar. Namun, kawan-kawan Pak Umar tetap tidak percaya
karena emas dan cincin batu yang dipakai Pak Fikar dan istrinya sudah sering
mereka lihat dipakai Pak Umar dan Bu Fatimah. Seusai mereka berbasa-basi,
akhirnya kawan-kawan Pak Umar pulang ke rumahnya masing-masing.
Pada pagi
harinya, Pak Umar dan kawan-kawan menemui ustadz Wahid di mushola. Mereka
bermaksud untuk melaporkan yang telah terjadi semalam. Menurut Pak Umar dan
kawan-kawan, jawaban Pak Fikar kurang masuk akal dan jelas terbukti bahwa Pak
Fikarlah yang telah mencuri barang-barang berharga milik Pak Umar dan Bu
Fatimah. Di saat Pak Umar dan Bu Fatimah kehilangan, Pak Fikar dan istrinya
mendapatkan barang-barang tersebut. Pak Umar dan kawan-kawannya sangat geram,
dari ingin segera mengusir Pak Fikar dan istrinya dari desa ini. Pak Umar dan
kawan-kawannya membuat sebuah rencana. Mereka akan melabrak rumah Pak Fikar,
dan mencari barang-barang yang bisa dijadikan sebagai bukti, Tapi rencana mereka
gagal karena telah diketahui ustadz Wahid, dan ustadz wahid menghalau mereka di
tengah jalan. Ustadz Wahid memutuskan untuk bicara baik-baik dengan Pak Fikar.
Ustadz Waiiid akan mengajak Pak Fikar bersumpah di mushola esok harinya.
Matahari telah
kembali di ufuk Timur, sinar kembali terang. Pagi-pagi sekali Pak Umar dan
istrinya datang beserta kawan-kawannya. Tak lama kemudian Pak Fikar dan
istrinya tiba di mushola. Setelah ustadz Wahid mempersiapkan segala sesuatunya
akhirnya Pak Fikar disumpah. Pak Fikar harus berkata sejujur mungkin dengan apa
adanya. "Saya berjanji, demi Allah bahwa saya tidak pernah mencuri
barang-barang dari rumah Pak Umar!" janji Pak Fikar. Seusai Pak Fikar
disumpah, mereka pulang ke rumahnya masing-masing.
Seminggu
kemudian tersiar kabar bahwa Pak Fikar menderita penyakit yang sangat aneh.
Tubuhnya berbau seperti ikan, di kulitnya tumbuh bisul-bisul yang sangat
menjijikan. Semua anggota tubuhnya lumpuh. Sehingga istrinya tak tahan merawat
suaminya lagi, dan istrinya pergi meninggalkannya. Beberapa hari kemudian Pak
Fikar meninggal dunia dan dimakamkan di sebelah makam kakaknya.
Berita
meninggalnya Pak Fikar membuat seluruh warga menjadi geger. Sehingga seluruh
warga desa menganggap mushola itu adalah tempat bersumpah keramat. Dan kabar
itu terdengar oleh warga desa seberang, sehingga banyak orang-orang yang
sengaja ingin mengunjungi mushola tersebut. Pada suatu saat datang warga desa
berbondong-bondong ke mushola tersebut. Mereka meminta bantuan kepada ustadz
Wahid untuk menyumpah seseorang yang dituduh sebagai penjarah di pasar. Ustadz
Wahid menyanggupinya. Tidak lama kemudian penyumpahan pun dimulai.
"Saya
bersumpah demi Yang Maha Pencipta, bahwa saya tidak pernah menjarah di pasar
atau pun di tempat lainnya.!" janji orang tersebut. Beberapa minggu
kemudian, tidak pernah terjadi apa-apa terhadap orang tersebut. Dan ia
dinyatakan tidak bersalah. Semenjak saat itu warga desa menganggap bahwa
mushola itu adalah tempat yang harus dijaga dan dilestarikan. Dan akhirnya
mushola itu diperbesar dan dijadikan masjid tempat untuk beribadah.
Dari peristiwa
tersebut kita bisa mengambil banyak hikmah, bahwa kebaikan itu akan selalu
terbukti dan kejahatan pasti akan diketahui walau sekecil apapun. Selain itu
kita harus pintar menjaga mulut, agar mulut kita tidak dipergunakan untuk
bersumpah sembarangan.
Masjid Terate
Udik, itulah nama masjid yang biasa dipakai oleh orang-orang sebagai tempat
bersumpah. Akan tetapi, hanya orang-orang yang benar-benar dan
bersungguh-sungguhlah yang mau bersumpah di masjid ini. Sampai sekarang masjid
ini masih ada dan dijaga serta dilestarikan karena masih dipercayai sebagai
masjid sumpah. Namun sayangnya, Masjid Terate Udik yang berada di kampung
Terate Udik, desa Masigit, kecamatan Cilegon, kota Cilegon konon ceritanya
tidak bisa diabadikan oleh kamera atau pun sejenisnya. Karena hasilnya tidak
akan pernah jadi. Begitulah Masjid Terate Udik, masjid yang banyak menyimpan
masalah-masalah yang tak terpecahkan.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar