Konon pada zaman
dahulu, di suatu tempat di Kecamatan Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan
Selatan, hiduplah seorang janda tua bersama seorang anak laki-lakinya yang
bernama Andung Kuswara. Ia seorang anak yang baik dan pintar mengobati orang
sakit. Ilmu pengobatan yang ia miliki diperoleh dari abahnya yang sudah lama
meninggal. Andung dan umanya hidup rukun dan saling menyayangi. Setiap hari
mereka bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Andung mencari kayu
bakar atau bambu ke hutan untuk membuat lanting untuk dijual, sedangkan umanya
mencari buah-buahan dan daun-daunan muda untuk sayur.
Suatu hari,
Andung pergi ke hutan seorang diri. Karena keasyikan bekerja, tak terasa waktu
telah beranjak senja, maka ia pun bergegas pulang. Di tengah perjalanan, ia
mendengar jeritan seseorang meminta tolong. Andung segera berlari menuju arah
suara itu. Ternyata, didapatinya seorang kakek yang kakinya terjepit pohon.
Andung segera menolong dan mengobati lukanya. “Terima kasih banyak, anakku!”
kata orang tua itu. Dia kemudian mengambil sesuatu dari lehernya. “Hanya benda
ini yang dapat kai berikan sebagai tanda terima kasih. Mudah-mudahan kalung ini
membawa keberuntungan bagimu,” ucap kakek itu seraya mengulurkan sebuah kalung
kepada Andung. Setelah mengobati kakek itu, Andung bergegas pulang ke rumahnya.
Sesampai di
rumah, Andung menceritakan kejadian tadi kepada umanya. Usai bercerita, Andung
menyerahkan kalung pemberian kakek itu sambil berkata, “Uma, tolong simpan
kalung ini baik-baik”. Umanya menerima dan memerhatikan benda itu dengan
saksama. “Sepertinya ini bukan kalung sembarangan, Nak. Lihatlah, sungguh
indah!” kata Uma Andung dengan takjub. Setelah itu, Uma Andung menyimpan kalung
tersebut di bawah tempat tidurnya.
Kehidupan terus
berjalan. Pada suatu hari, Andung terlihat termenung seorang diri. “Ya Tuhan,
apakah kehidupanku akan seperti ini selamanya? Aku ingin hari depanku lebih
baik daripada hari ini. Tapi…bagaimana caranya?” kata Andung dalam hati.
Sejenak ia berpikir mencari jalan keluar. Tiba-tiba, terlintas dalam pikiran
Andung untuk pergi merantau. “Hmm…lebih baik aku merantau saja. Dengan begitu
aku dapat mengamalkan ilmu pengobatan yang telah aku peroleh dari abah dulu.
Siapa tahu dengan merantau akan mengubah hidupku,” gumam Andung dengan
semangat. Namun, apa yang ada dalam pikirannya tidak langsung ia utarakan
kepada umanya. Rasa ragu masih menyelimuti hati dan pikirannya. Jika ia pergi
merantau, tinggallah umanya sendiri. Tetapi, jika ia hanya mencari kayu bakar
dan bambu setiap hari, lalu kapan kehidupannya bisa berubah. Pikiran-pikiran
itulah yang ada dalam benaknya.
Hari berganti
hari. Minggu berganti minggu. Andung benar-benar sudah tidak tahan lagi hidup
miskin. Keraguannya untuk meninggalkan umanya pun lenyap. Dorongan hati Andung
untuk merantau sudah tak terbendung lagi. Suatu hari, ia pun mengutarakan
maksud hatinya kepada umanya. “Uma, Andung ingin mengubah nasib kita. Andung
memutuskan untuk merantau ke negeri seberang. Oleh karena itu, Andung mohon
izin dan doa restu, Uma,” kata Andung dengan hati-hati memohon pengertian
umanya. “Anakku, sebenarnya Uma sudah bersyukur dengan keadaan kita saat ini.
Tetapi, jika keinginan hatimu sudah tak terbendung lagi, dengan berat hati Uma
akan melepas kepergianmu,” sahut Uma Andung memberikan izin.
Setelah mendapat
restu dari umanya, Andung segera berkemas dengan bekal seadanya. Andung membawa
masing-masing sehelai kain, baju dan celana. Memang hanya itu yang ia miliki.
Ketika Andung hendak meninggalkan gubuk reotnya, Uma berpesan kepadanya.
“Andung ..., ingatlah Uma! Ingat kampung halaman dan tanah leluhur kita. Jangan
pernah melupakan Tuhan Yang Mahakuasa. Walau berat, Uma tak bisa melarangmu
pergi. Jika takdir menghendaki, kita tentu akan berkumpul kembali,” kata sang
Uma dengan sedihnya.
Mendengar
nasihat umanya, Andung tak kuasa menahan air matanya. “Andung, bawalah kalungmu
ini. Siapa tahu kelak kamu memerlukannya,” ujar Uma Andung melanjutkan. Setelah
menerima kalung itu, Andung kemudian berpamitan kepada umanya. Andung mencium
tangan umanya, lalu umanya membalasnya dengan pelukan erat. Sesaat, suasana
haru pun meliputi hati keduanya. Ketika Uma memeluk Andung, beberapa tetes air
mata menyucur dari kelopak matanya, jatuh di atas pundak Andung. “Maafkan
Andung, Uma! Andung berjanji akan segera kembali jika sudah berhasil,” kata
Andung memberi harapan kepada umanya. “Iya Nak. Cepatlah kembali kalau sudah
berhasil! Hanya kamulah satu-satunya milik Uma di dunia ini,” jawab Uma penuh
harapan. Beberapa saat kemudian, Uma berucap kepada Andung. “Segeralah
berangkat Andung, agar kamu tak kemalaman di tengah hutan.”
Andung mencium
tangan umanya untuk terakhir kalinya, lalu pamit. Andung berangkat diiringi
lambaian tangan Uma yang sangat dikasihinya. “Selamat jalan, anakku. Jangan
lupa cepat kembali,” teriak Uma dengan suara serak. “Tentu, Uma!” sahut Andung
sambil berjalan menoleh ke arah umanya. “Jaga diri baik-baik, Uma! Selamat
tinggal! Uma baru beranjak dari tempatnya setelah Andung yang sangat
disayanginya hilang di balik pepohonan hutan. Sejak itu, tinggallah Uma Andung
sendirian di tengah hutan belantara.
Berbulan-bulan
sudah Andung meninggalkan umanya. Andung terus berjalan. Banyak kampung dan
negeri telah dilewati. Berbagai pengalaman didapat. Ia juga telah mengobati
setiap orang yang memerlukan bantuannya.
Suatu siang yang
terik, tibalah Andung di Kerajaan Basiang yang tampak sunyi. Saat menyusuri
jalan desa, Andung bertemu dengan seorang petani yang kulitnya penuh dengan
koreng dan bisul. Andung kemudian mengobati petani itu. Dari orang tersebut
Andung mengetahui jika Negeri Basiang sedang tertimpa malapetaka berupa wabah penyakit
kulit. Karena berhutang budi kepada Andung, orang itu mengajak Andung tinggal
di rumahnya. Setiap hari, penduduk yang terjangkit penyakit berdatangan ke
rumah orang tua itu untuk berobat kepada Andung. Seluruh penduduk yang telah
diobati oleh Andung sembuh dari penyakitnya. Berita perihal kepandaian Andung
dalam mengobati pun menyebar ke seluruh negeri.
Suatu hari,
berita kepandaian Andung mengobati penyakit tersebut akhirnya sampai ke telinga
Raja Basiang. Sang Raja pun mengutus hulubalang menjemput Andung untuk
mengobati putrinya. Beberapa lama kemudian, hulubalang tersebut sudah kembali
ke istana bersama Andung. Andung yang miskin dan kampungan itu sangat takjub
melihat keindahan bangunan istana. Ia berjalan sambil mengamati setiap sudut
istana yang dihiasi ratna mutu manikan. Tak disadari, ternyata sang Raja sudah
ada di hadapannya. Andung pun segera memberi salam dan hormat kepadanya. “Salam
sejahtera, Tuanku,” sapa Andung kepada Baginda.
Sang Raja
menyambut Andung dengan penuh harapan. Dia kemudian menyampaikan maksudnya
kepada Andung. “Hai anak muda! Ketahuilah, putriku sudah dua minggu tergolek
tak berdaya. Semua tabib di negeri ini sudah saya kerahkan untuk mengobatinya,
namun tak seorang pun yang mampu menyembuhkannya. Apakah kamu bersedia menyembuhkan
putriku?” tanya sang Raja. “Hamba hanya seorang pengembara miskin. Pengetahuan
obat-obatan yang hamba miliki pun sedikit. Jika nantinya hamba gagal
menyembuhkan Tuan Putri, hamba mohon ampun Paduka,” kata Andung merendah.
Andung pun
dipersilakan masuk ke kamar Putri. Putri tergolek kaku di atas pembaringannya.
Wajahnya pucat pasi dan bibirnya tertutup rapat. Walupun pucat pasi, wajah sang Putri tetap memancarkan sinar
kecantikannya. “Aduhai, cantik sangat sang Putri,” ucap Andung menaruh hati kepada
sang Putri. Sesaat kemudian, Andung pun mengeluarkan seluruh kemampuannya untuk
membangunkan sang Putri. Namun, sang Putri tetap tak bergerak. Andung mulai
panik. Tiba-tiba, hati Andung tergerak untuk mengambil kalung pemberian kakek
yang ditolongnya dulu. Andung meminta kepada pegawai istana agar disiapkan air
dalam mangkuk. Setelah air tersedia, lalu Andung segera merendam kalungnya
beberapa saat. Kemudian air rendaman diambil dan dibacakan doa, lalu ia
percikkan beberapa kali ke mulut sang Putri. Tak berapa kemudian, sang Putri
pun terbangun. Matanya yang kuyu perlahan-lahan terbuka. Wajahnya segar
kembali. Akhirnya, Putri dapat bangkit dan duduk di pembaringan.
Semua penghuni
istana turut bergembira dan merayakan kesembuhan sang Putri. Paduka Raja sangat
berterima kasih atas kesembuhan putri satu-satunya yang sangat ia cintai Atas
jasanya tersebut, Andung kemudian dinikahkan dengan sang Putri. Pesta
perkawinan dilaksanakan tujuh hari tujuh malam. Semua rakyat bersuka ria
merayakannya. Putri tampak berbahagia menerima Andung sebagai suaminya.
Demikian pula Andung yang sejak pandangan pertama sudah jatuh cinta pada sang
Putri. Mereka berdua melalui hari-hari dengan hidup bahagia.
Minggu dan bulan
terus berganti. Istri Andung pun hamil. Dalam kondisi hamil muda sang Putri
mengidam buah kasturi yang hanya tumbuh di Pulau Kalimantan. Karena cintanya
kepada sang Putri begitu besar, Andung pun mengajak beberapa hulubalang dan
prajurit untuk ikut bersamanya mencari buah kasturi ke Pulau Kalimantan.
Setibanya di
Pulau Kalimantan, Andung berangkat ke daerah Loksado untuk mencari sebatang
pohon kasturi yang dikabarkan sedang berbuah di sana. Alangkah terkejutnya
Andung, karena pohon kasturi itu berada tepat di depan rumahnya dulu. Andung segera mengajak hulubalang dan para
prajuritnya kembali. Rupanya ia tidak mau bertemu dengan umanya.
Mendengar
keributan di luar rumahnya, seorang nenek tua renta berjalan terseok-seok
menuju ke arah rombongan tersebut. “Andung..., Andung Anakku...!” suara nenek
tua yang serak memanggil Andung. Dengan terbungkuk-bungkuk nenek itu mengejar
rombongan Andung. Andung menoleh. Ia tersentak kaget melihat sang Uma yang dulu
ditinggalkannya sudah tua renta. Karena malu mengakui sebagai umanya, Andung
membentak, “Hai nenek tua! Aku adalah raja keturunan bangsawan. Aku tidak kenal
dengan nenek renta dan dekil sepertimu!” ujar Andung kemudian memalingkan muka
dan pergi.
Hancur luluh
hati sang Uma dibentak dan dicaci maki oleh putra kandungnya sendiri. Nenek tua
yang malang itu pun berdoa, “Ya, Tuhan Yang Mahakuasa, tunjukkanlah kekuasaan
dan keadilan-Mu,” tua renta itu berucap pelan dengan bibir bergetar. Belum
kering air liur tua renta itu berdoa, halilintar sambar-menyambar membelah
bumi. Kilat sambung-menyambung. Langit mendadak gelap gulita. Badai bertiup
menghempas keras. Tak lama kemudian, hujan lebat tumpah dari langit. Andung
berteriak dengan keras, “Maafkan aku, Uma...!” Tapi siksa Tuhan tak dapat
dicabut lagi. Tiba-tiba Andung berubah menjadi batu berbentuk bangkai manusia.
Sejak itu, penduduk
di sekitarnnya menamai gunung tempat peristiwa itu terjadi dengan sebutan
Gunung Batu Bangkai, karena batu yang mirip bangkai manusia itu berada di atas
gunung. Gunung Batu Bangkai ini dapat dijumpai di Kecamatan Loksado, Hulu
Sungai Selatan, Kalimantan Selatan.