Minggu, 27 Agustus 2017

Saudagar Jerami


Dahulu kala, ada seorang pemuda miskin yang bernama Taro. Ia bekerja untuk ladang orang lain dan tinggal dilumbung rumah majikannya. Suatu hari, Taro pergi ke kuil untuk berdoa. "Wahai, Dewa Rahmat! Aku telah bekerja dengan sungguh-sungguh, tapi kehidupanku tidak berkercukupan". "Tolonglah aku agar hidup senang". Sejak saat itu setiap selesai bekerja, Taro pergi ke kuil. Suatu malam, sesuatu yang aneh membangunkan Taro. Di sekitarnya menjadi bercahaya, lalu muncul suara. "Taro, dengar baik-baik. Peliharalah baik-baik benda yang pertama kali kau dapatkan esok hari. Itu akan membuatmu bahagia."
Keesokan harinya ketika keluar dari pintu gerbang kuil, Taro jatuh terjerembab. Ketika sadar ia sedang menggenggam sebatang jerami. "Oh, jadi yang dimaksud Dewa adalah jerami, ya? Apa jerami ini akan mendatangkan kebahagiaan…?", pikir Taro. Walaupun agak kecewa dengan benda yang didapatkannya Taro lalu berjalan sambil membawa jerami. Di tengah jalan ia menangkap dan mengikatkan seekor lalat besar yang terbang dengan ributnya mengelilingi Taro di jeraminya. Lalat tersebut terbang berputar-putar pada jerami yang sudah diikatkan pada sebatang ranting. "Wah menarik ya", ujar Taro. Saat itu lewat kereta yang diikuti para pengawal. Di dalam kereta itu, seorang anak sedang duduk sambil memperhatikan lalat Taro. "Aku ingin mainan itu." Seorang pengawal datang menghampiri Taro dan meminta mainan itu. "Silakan ambil", ujar Taro. Ibu anak tersebut memberikan tiga buah jeruk sebagai rasa terima kasihnya kepada Taro.
"Wah, sebatang jerami bisa menjadi tiga buah jeruk", ujar Taro dalam hati. Ketika meneruskan perjalanannya, terlihat seorang wanita yang sedang beristirahat dan sangat kehausan. "Maaf, adakah tempat di dekat sini mata air ?", tanya wanita tadi. "Ada dikuil, tetapi jaraknya masih jauh dari sini, kalau anda haus, ini kuberikan jerukku", kata Taro sambil memberikan jeruknya kepada wanita itu. "Terima kasih, berkat engkau, aku menjadi sehat dan segar kembali". Terimalah kain tenun ini sebagai rasa terima kasih kami, ujar suami wanita itu. Dengan perasaan gembira, Taro berjalan sambil membawa kain itu. Tak lama kemudian, lewat seorang samurai dengan kudanya. Ketika dekat Taro, kuda samurai itu terjatuh dan tidak mampu bergerak lagi. "Aduh, padahal kita sedang terburu-buru." Para pengawal berembuk, apa yang harus dilakukan terhadap kuda itu. Melihat keadaan itu, Taro menawarkan diri untuk mengurus kuda itu. Sebagai gantinya Taro memberikan segulung kain tenun yang ia dapatkan kepada para pengawal samurai itu. Taro mengambil air dari sungai dan segera meminumkannya kepada kuda itu. Kemudian dengan sangat gembira, Taro membawa kuda yang sudah sehat itu sambil membawa 2 gulung kain yang tersisa.
Ketika hari menjelang malam, Taro pergi ke rumah seorang petani untuk meminta makanan ternak untuk kuda, dan sebagai gantinya ia memberikan segulung kain yang dimilikinya. Petani itu memandangi kain tenun yang indah itu, dan merasa amat senang. Sebagai ucapan terima kasih petani itu menjamu Taro makan malam dan mempersilakannya menginap di rumahnya. Esok harinya, Taro mohon diri kepada petani itu dan melanjutkan perjalanan dengan menunggang kudanya.
Tiba-tiba di depan sebuah rumah besar, orang-orang tampak sangat sibuk memindahkan barang-barang. "Kalau ada kuda tentu sangat bermanfaat," pikir Taro. Kemudian taro masuk ke halaman rumah dan bertanya apakah mereka membutuhkan kuda. Sang pemilik rumah berkata,"Wah kuda yang bagus. Aku menginginkannya, tetapi aku saat ini tidak mempunyai uang. Bagaimanan kalau ku ganti dengan sawahku ?". "Baik, uang kalau dipakai segera habis, tetapi sawah bila digarap akan menghasilkan beras, Silakan kalau mau ditukar", kata Taro.
"Bijaksana sekali kau anak muda. Bagaimana jika selama aku pergi ke negeri yang jauh, kau tinggal disini untuk menjaganya ?", Tanya si pemilik rumah. "Baik, Terima kasih Tuan". Sejak saat itu taro menjaga rumah itu sambil bekerja membersihkan rerumputan dan menggarap sawah yang didapatkannya. Ketika musim gugur tiba, Taro memanen padinya yang sangat banyak.
Semakin lama Taro semakin kaya. Karena kekayaannya berawal dari sebatang jerami, ia diberi julukan "Saudagar Jerami". Para tetangganya yang kaya datang kepada Taro dan meminta agar putri mereka dijadikan istri oleh Taro. Tetapi akhirnya, Taro menikah dengan seorang gadis dari desa tempat ia dilahirkan. Istrinya bekerja dengan rajin membantu Taro. Merekapun dikaruniai seorang anak yang lucu. Waktu terus berjalan, tetapi Si pemilik rumah tidak pernah kembali lagi. Dengan demikian, Taro hidup bahagia bersama keluarganya.

Minggu, 20 Agustus 2017

Raja Empedu


Pada zaman dahulu kala, Kecamatan Rawas Ulu yang merupakan wilayah Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan, terbagi ke dalam tiga wilayah pemerintahan yaitu Hulu Sungai Nusa, Lesung Batu, dan Kampung Suku Kubu. Ketiga wilayah tersebut masing-masing diperintah oleh seorang raja. Negeri Hulu Sungai diperintah oleh Raja Empedu yang masih muda dan terkenal dengan keberanian dan kesaktiannya. Rakyatnya hidup aman dan makmur karena pertanian di daerah itu maju dengan pesat.
Sementara itu, Negeri Lesung Batu diperintah oleh Pangeran Mas yang terkenal kaya raya dan mempunyai banyak ternak kerbau. Adapun Negeri Kampung Suku Kubu diperintah oleh Raja Kubu yang memiliki kesaktian yang tinggi. Negeri Kampung Kubu dikenal paling tertinggal dibanding dua negeri yang lain meskipun wilayahnya cukup subur.
Suatu ketika, Pangeran Mas mengalami kesulitan memelihara ternaknya yang semakin hari semakin berkembangbiak. Oleh karenanya, ia berniat untuk menyerahkan sebagian ternaknya kepada siapa pun yang berminat memeliharanya dengan syarat kerbau-kerbau yang diserahkan tetap menjadi miliknya, hasil dari pengembangbiakan itulah nantinya akan dibagi bersama secara adil.
Raja Kubu yang mendengar kabar tersebut sangat berminat untuk menerima tawaran Pangeran Mas. Ia segera mengirim utusannya ke Negeri Lesung Batu untuk menghadap Pangeran Mas. “Ampun, Tuan! Hamba adalah utusan Raja Kubu dari Negeri Kampung Suku Kubu. Kedatangan hamba kemari untuk menyampaikan keinginan Raja hamba yang berminat menerima tawaran Tuan dan bersedia menaati persyaratannya,” lapor utusan Raja Kubu. “Baiklah, kalau begitu! Pulanglah dan sampaikan kepada Raja-mu bahwa aku menyetujui keinginannya. Besok aku akan mengirimkannya puluhan ekor kerbau. Sampaikan juga kepada Raja-mu bahwa jika kerbau-kerbau tersebut telah berkembangbiak, aku akan datang untuk mengambil pembagian hasilnya,” jelas Pangeran Mas. “Baik, Tuan! Pesan Tuan akan hamba sampaikan kepada Raja hamba,” kata utusan itu seraya mohon diri.
Keesokan harinya, Pangeran Mas mengirim berpuluh-puluh ekor kerbau jantan dan betina kepada Raja Kubu. Raja Kubu pun menerimanya dengan senang hati. Ia memelihara dan merawat kerbau-kerbau tersebut dengan baik. Kerbau-kerbau tersebut ia gembalakan dan membiarkannya berkubang di sawah-sawah yang terhampar luas di daerahnya. Kerbau peliharaannya pun berkembangbiak dengan cepat dan hampir seluruh daerahnya telah menjadi kubangan kerbau. Sejak itu, negeri tersebut kemudian dikenal dengan nama Negeri Kubang dan Raja Kubu dipanggil Raja Kubang.
Beberapa tahun kemudian, Pangeran Mas merasa bahwa tibalah saatnya untuk mengambil pembagian atas ternaknya yang dipelihara oleh Raja Kubang. Maka dikirimlah utusannya untuk menghadap Raja Kubang. Setibanya di sana, Raja Kubang mengikari janjinya dan menolak untuk berbagi hasil dengan Pangeran Mas. Bahkan, ia menganggap bahwa semua kerbau yang dipeliharanya adalah miliknya. “Hai, utusan! Untuk apa kamu datang kemari?” tanya Raja Kubang.  “Ampun, Tuan! Hamba diutus Raja Pangeran Mas kemari untuk menagih pembagian hasil dari ternak kerbau yang Tuan pelihara,” jawab utusan Raja Pangeran Mas. “Apa katamu, pembagian hasil? Tidak, semua kerbau tersebut sudah menjadi milikku karena akulah yang merawat dan mengembangbiakkannya,” kata Raja Kubang. “Tapi, Tuan! Bukankah hal itu sesuai dengan perjanjian yang telah Tuan sepakati bersama Raja Pangeran Mas?” ujar utusan itu. “Cuihhh… persetan dengan perjanjian itu! Perjanjian itu hanya berlaku pada waktu itu, tapi sekarang tidak lagi,” Raja Kubang menyangkal.
Beberapa kali utusan Raja Pangeran Mas berusaha membujuk dan memberinya pengertian, namun Raja Kubang tetap mengingkari janjinya. Lama kelamaan Raja Kubang merasa muak dengan bujukan-bujukan itu. Ia pun memerintahkan pengawalnya agar mengusir utusan itu. Akhirnya, utusan Raja Pangeran Mas pulang dengan tangan hampa.
Mendengar laporan dari utusannya, Raja Pangeran Mas sangat marah atas sikap dan tindakan Raja Kubang. Penguasa Negeri Lesung Batu itu berniat untuk menyerang Raja Kubang, namun apa daya Raja Kubang terkenal sakti dan mempunyai banyak pengawal yang tangguh. Akhirnya, ia memutuskan untuk meminta bantuan kepada Raja Empedu. Berangkatlah ia bersama beberapa pengawalnya ke Negeri Hulu Sungai Nusa. Setibanya di sana, kedatangan mereka disambut baik oleh Raja Empedu. Raja Pangeran Mas kemudian mengutarakan maksud kedatangannya. Tanpa berpikir panjang, Raja Empedu pun menyatakan kesediaannya untuk membantu Pangeran Mas.
“Baiklah, Pangeran Mas! Aku akan membantu mengembalikan kerbau-kerbaumu. Raja Kubang yang suka ingkar janji itu harus diberi pelajaran,” ujar Raja Empedu. “Tapi, bagaimana caranya Raja Empedu? Bukankah Raja Kubang itu sangat sakti?” tanya Pangeran Mas bingung.  “Tenang Pangeran Mas! Kita perlu strategi untuk bisa mengalahkannya,” ujar Raja Empedu.
Akhirnya, Raja Empedu bekerjasama dengan Pangeran Mas membangun strategi. Pertama-tama mereka membagi dua pasukan mereka. Pasukan pertama bertugas membuat hiruk pikuk seluruh rakyat Raja Kubang dengan mengadakan pertunjukan seni dan tari pedang di Negeri Kubang. Pasukan kedua bertugas untuk mengepung dan membakar seluruh pemukiman penduduk Negeri Kubang.
Pada hari yang telah ditentukan, berangkatlah pasukan pertama ke Negeri Kubang untuk mengadakan pertunjukan. Mereka masuk wilayah negeri itu sambil membawakan lagu-lagu merdu dan tari-tarian pedang. Penduduk Negeri Kubang pun berbondong-bondong untuk menyaksikan pertunjukkan itu, tidak terkecuali Raja Kubang dan para pengawalnya. Pada saat itulah, pasukan kedua yang dipimpin oleh Raja Empedu dan Pangeran Mas segera memanfaatkan kesempatan untuk mengepung dan membakar seluruh permukiman warga. Para penduduk pun berlarian untuk menyelamatkan diri. Sementara itu, Raja Kubang baru menyadari bahwa mereka telah dikepung oleh pasukan dari dua kerajaan. Ia pun tak berdaya untuk melakukan perlawanan karena jumlah pasukan Raja Empedu dan Pangeran Mas jauh lebih banyak daripada pasukannya. Akhirnya, Raja Kubang menyerah dan mengembalikan seluruh kerbau yang ada di negerinya kepada Pangeran Mas.
Pangeran Mas dan Raja Empedu beserta seluruh pasukannya menggiring kerbau-kerbau tersebut menuju Negeri Lesung Batu. Betapa senangnya hati Pangeran Mas karena ternak kerbaunya dapat direbut kembali dari tangan Raja Kubang atas bantuan Raja Empedu. Sebagai ucapan terima kasih dan balas jasa, Pangeran Mas menyerahkan putri semata wayangnya yang bernama Putri Darah Putih kepada Raja Empedu untuk dijadikan permaisuri.
Setelah menikah, Raja Empedu mengajak Putri Darah Putih tinggal di Negeri Hulu Sungai Nusa. Sejak itulah, Raja Pangeran Mas merasa kesepian dan selalu merindukan putrinya. Untuk melepas keriduannya, ia sering pergi ke Tebing Ajam, yaitu suatu tempat yang tinggi untuk meninjau dari kejauhan Negeri Hulu Sungai, tempat tinggal putrinya dan Raja Empedu. Hingga kini, tebing itu terkenal dengan nama Tebing Peninjauan.

Minggu, 13 Agustus 2017

Para Betuah


Alkisah, pada masa dahulu, di wilayah sekitar Tanjung Batu banyak perampok. Rakyat merasa tidak nyaman dengan ulah para perampok yang kian merajalela, baik siang maupun malam, baik di perairan sungai maupun di darat. Sampai kemudian datang seorang pandai besi yang konon berasal dari tanah Jawa. Orang yang kemudian dikenal dengan nama Puyang Sampurayo ini ternyata memiliki ilmu kanuragan yang tinggi di samping memiliki keahlian membuat alat-alat pertanian, khususnya senjata tajam (parang/golok).
Menyaksikan keganasan para perampok yang sering mengganggu penduduk itu membuat Puyang Sampurayo gerah. Dengan dibantu beberapa penduduk ia pun mencoba melawan para perampok yang datang ke kampung. Sampai akhirnya tak satu pun perampok yang lolos dari cengkramannya. Para perampok yang menyadari kekeliruannya dan menyerah dimaafkan dan bahkan ada yang tinggal di desa tersebut. Sementara mereka yang terus melawan terpaksa juga dilawan dengan kekerasan.
Lama kelamaan para begundal yang tersisa pun ketakutan setelah mendengar  banyak teman-teman seprofesinya yang ditangkap maupun yang mati di tangan Puyang Sampurayo. Akhirnya mereka pun ada yang menyerahkan diri secara baik-baik dan ada pula yang justru menjauh menghindari desa sekitar itu.
Kabar tentang kegagahberanian Puyang Sampurayo cepat menyebar ke mana-mana. Bahkan sampai pula ke telinga penguasa di daerah itu, yaitu Raja Usang Gobang. Usang Gobang merasa iri mendengar kabar kesaktian Puyang Sampurayo. Terlebih rakyat pun sangat banyak yang simpatik terhadap budi baik Puyang dari tanah Jawa itu. Karena di samping ia memiliki ilmu beladiri yang hebat, Puyang juga dikenal sebagai orang yang rendah diri dan suka menolong.
Di sisi lain, sebenarnya rakyat sendiri banyak yang kurang simpatik dengan Raja Usang Gobang. Sebab ia dikenal rakyat sebagai raja yang sombong dan congkak. Bahkan sering berlaku sewenanmg-wenang terhadap rakyat. Karena sikap rakyat yang banyak simpatik terhadap Puyang Sampurayo inilah Raja Usang Gobang merasa cemburu dan iri. Ia tidak rela diperlakukan seperti itu oleh rakyatnya. Maka ia pun memutuskan utntuk membuat suatu perhitungan terhadap Puyang Sampurayo. Dibuatnya rencana khusus untuk menjebak atau melenyapkan Sang Puyang.
Suatu hari Raja Usang Gobang memerintahkan beberapa orang pasukannya pergi ke rumah Puyang Sampurayo. Ia akan memerintahkan Puyang membuat sebuah parang bertuah yang diperkirakan tidak akan mampu dibuat oleh Mpu pandai besi itu. “Sampaikan kepada Puyang Sampurayo bahwa aku minta dibuatkan sebuah parang sakti dalam satu minggu ini. Beritahukan sama dia, bahwa sebagai bukti kesaktian parang itu, parang itu tidak akan mampu diangkat oleh tujuh orang yang berilmu tinggi sekalipun, selain olehku.” perintah Usang Gobang dengan nada tinggi. Ia yakin, Puyang Sampurayo tidak akan mampu memenuhi permintaannya itu. “Baik, Paduka Raja. Apa ada perintah lain, Paduka?” Tanya seorang prajurit yang hendak diutus. “Kalau dia tidak sanggup, maka kepalanyalah yang akan menjadi taruhannya! Ingat, hanya satu minggu!” tandas Usang Gobang.
Prajurit yang diutus itu pun bergegas undur diri setelah memberi hormat. Ia dan beberapa kawannya langsung menuju ke rumah Puyang Sampurayo. Saat itu, kebetulah Sang Puyang berada di rumahnya. Ia tengah membuat beberapa parang bersama beberapa anak buahnya. Di desa tersebut, parang buatan Puyang sudah sangat dikenal baik mutunya .
Setelah dipersilakan masuk ke dalam rumah oleh Puyang Sampurayo, prajurit itu pun menyampaikan maksud kedatangannya seperti halnya yang diperintahkan Raja Usang Gobang. “Maaf Puyang, kami hanya menyampaikan perintah!” ucap seorang prajurit setelah ia menyampaikan pesan rajanya. “Aku maklum dengan kalian. Tapi rasanya, permintaan Raja Usang Gobang itu berat sekali. Sedangkan untuk membuat parang biasa saja kami memerlukan waktu beberapa hari.” ucap Puyang Sampurayo mencoba tenang. Tetapi walau bagaimanapun, ia tidak bisa menolak permintaan Raja Usang Gobang. Sebab alternatifnya, kepalanyalah yang akan jadi taruhan! “Sampaikan pada Paduka, aku akan berusaha semampuku.” lanjut Puyang kemudian.
Setelah mendengar keputusan Puyang Sampurayo, para prajurit itu pun kembali ke istana. Mereka akan mengabarkan kepada rajanya apa-apa yang telah disampaikan pandai besi yang dikenal sakti itu. “Puyang Sampurayo menyanggupinya, Paduka, meski kelihatannya beliau sangat berat hati.” lapor seorang prajurit. “Bagus. Kalau begitu, kita tunggu saja dalam seminggu ini. Pas pada hari ketujuh aku akan datang mengambilnya, atau pandai besi itu disuruh menyerahkan kepalanya!” Raja usang Gobang tersenyum puas. Ia yakin, Puyang Sampurayo tidak akan berhasil membuat parang sakti seperti yang dikehendakinya.
Sementara itu, di rumahnya, Puyang Sampurayo bepikir keras untuk memenuhi permintaan Raja Usang Gobang. Ia merasa tidak mengerti dan sangat bingung untuk memenuhi permintaan Usang Gobang yang dirasakan aneh dan mengada-ada itu. Sebagai orang yang sudah sarat dengan pengalaman, Puyang Sampurayo bermenung sejenak sambil memhohon pada Yang Maha Kuasa agar diberi petunjuk. Akhirnya, setelah lama berpikir, ia mendapat akal untuk membuat sebuah parang yang berat dan besar. Parang itu akan dibuatnya dari besi seberat dua pikul (dua kuintal).
Mulai hari itu juga, dibantu beberapa anak buahnya, Puyang Sampurayo segera mencairkan segala besi yang ada. Pesanan dari penduduk pun terpaksa ia hentikan. Kabar permintaan Usang Gobang terhadap Puyang segera tersiar ke seluruh masyarakat. Mereka banyak yang prihatin, namun tidak bisa membantu secara langsung. Mereka hanya bisa berdoa agar Sang Puyang dapat memenuhi permintaan dari raja mereka yang dikenal congkak itu.
Setiap hari, siang dan malam, Puyang Sampurayo terus bekerja untuk membuat parang tersebut. Tidak lupa ia pun berdoa kepada Sang Maha Pencipta agar parang itu pun diberi tuah. Hingga pada akhirnya sampailah hari ketujuh seperti yang dijanjikan. Usang Gobang, yang tentu saja bersama para prajuritnya, akan datang mengambil parang itu atau kepalanyalah yang akan dipenggal Sang Raja.
Sepanjang jalan, Usang Gobang selalu tersenyum dan tertawa penuh kemenangan. Ia mengira Puyang Sampurayo tidak bisa melaksanakan perintahnya untuk membuat sebuah parang sakti yang tidak bisa diangkat oleh tujuh orang prajurit. Ia sengaja datang pagi-pagi untuk membuat kejutan. Atau setidaknya, ia meyakini bahwa pagi itu parang yang dipesan pasti belum jadi.
Setelah tiba di rumah Puyang Sampurayo, Raja Usang Gobang tercengang melihat parang panjang dan besar yang sudah disiapkan, terpasang melintang pada beberapa cagak kayu. Ia melihat parang itu sudah jadi dan tampak sempurna. “Maaf Paduka Raja, sebenarnya parang ini belum sempurna benar. Hamba baru selesai menyepuhnya sehingga parang ini masih sangat panas.” ucap Puyang Sampurayo.
Raja Usang Gobang tidak menyahut. Ia langsung memerintahkan kepada tujuh anak buahnya untuk mengangkat parang tersebut sebagai uji coba. Namun ternyata ketujuh anak buahnya tak mampu mengangkat parang sakti yang berat dan sangat panas itu. Tangan dan pundak mereka melepuh. Mereka menjerit kesakitan.
Darah Usang Gobang mendesir. Ternyata dugaannya meleset jauh. Hatinya mengumpat dan mencaci maki Puyang Sampurayo. Meski ia sangat marah namun ia mencoba menahannya. Dengan kesombongannya ia menyuruh anak buahnya menyingkir.  Usang Gobang mendekat untuk mengangkat parang tersebut. “Enyahlah kalian! Mengangkat parang seperti ini saja kalian tidak mampu!” hardik Usang Gobang.
Sebenanrnya Usang Gobang pun sangat menyadari bahwa parang tersebut berat dan panas. Ia mulai ragu, jangan-jangan ilmu yang dimilikinya pun tidak akan mampu untuk mengangkat parang tersebut. Tetapi karena rasa gengsinya dan amarahnya sudah meluap, ia tetap maju untuk mengangkat parang tersebut.
Begitu sudah di dekat parang, Usang Gobang membaca beberapa mantra. Lalu kedua tangannya menyentuh parang itu untuk diangkat. Ia tersenyum sejenak karena mantranya dianggap ampuh. Namun sesaat kemudian bibirnya mulai meringis, matanya mulai merah dan berair. Demikian juga keringat di keningnya mulai berjatuhan. Ia sungguh tak menyangka bahwa parang tersebut memang demikian panas dan berat. Namun ia tetap memaksakan diri. Kedua tangannya mulai melepuh dan terbakar. Ia terus mencoba menyangga dengan pundaknya. Pundaknya itu pun melepuh dan terbakar. Namun Raja yang sombong itu tampaknya tidak mau menyerah. Ia merasa malu kalau harus menyerah begitu saja. Akhirnya Raja Usang Gobang mati dengan tubuhnya yang hangus, terbakar oleh hawa panas parang bertuah buatan Puyang sampurayo.
Konon, sampai sekarang kuburan Puyang Sampurayo masih ada di Desa Burai, Tanjung Batu. Kuburan tersebut dikeramatkan warga sekitarnya. Sampai sekarang pula, di wilayah tersebut masyarakatnya banyak yang menjadi pandai besi.

Minggu, 06 Agustus 2017

Legenda Ratu Pantai Utara Pekalongan


Pada jaman dahulu di suatu tempat Kota Pekalongan hiduplah seorang putri yang sangat cantik jelita, sampai sekarang masih menjadi pembicaraan penduduk, tempat yang terkenal dengan nama Dewi Rara Kuning. Adapun tempat tinggalnya tiada dapat diketahui secara pasti.
Dalam menempuh gelombang hidupnya Dewi Rara Kuning mengalami penderitaan yang sangat berat, sebab dalam usia yang sangat muda ia sudah menjadi janda. Suaminya meninggal dunia setelah beberapa waktu melangsungkan pernikahannya. Maka dari itulah Dewi Rara Kuning kemudian terkenal dengan sebutan Dewi Lanjar. ( Lanjar sebutan bagi seorang perempuan yang bercerai dari suaminya dalam usia yang masih muda dan belum mempunyai anak ). Sejak ditinggal suaminya itu Dewi Lanjar hidupnya sangat merana dan selalu memikirkan suaminya saja. Hal yang demikian itu berjalan beberapa waktu lamanya, tetapi lama kelamaan Dewi Lanjar sempat berpikir kembali bahwa kalau dibiarkan demikian terus akan tidak baik akibatnya. Maka dari itulah ia kemudian memutuskan untuk pergi meninggalkan kampung halamannya, merantau sambil menangis hatinya yang sedang dirundung malang.
Tersebutlah, perjalanan Dewi Lanjar sampai disebuah sungai yaitu sungai Opak. Ditempat ini kemudian bertemu dengan Raja Mataram bersama Mahapatih Singaranu yang sedang bertapa ngapung diatas air di sungai itu. Dalam pertemuan itu Dewi Lanjar mengutarakan isi hatinya serta pula mengatakan tidak bersedia untuk menikah lagi. Panembahan Senopati dan Mahapatih Singoranu demi mendengar tuturnya terharu dan merasa kasihan. Oleh karena itu dinasehatinya agar bertapa di Pantai Selatan serta pula menghadap kepada Ratu Kidul. Setelah beberapa saat lamanya, mereka berpisahan serta melanjutkan perjalanan masing-masing, Panembahan dan Senopati beserta patihnya melanjutkan bertapa menyusuri sungai Opak sedangkan Dewi Lanjar pergi kearah Pantai Selatan untuk menghadap Ratu Kidul.
Dikisahkan bahwa Dewi Lanjar sesampainya di Pantai Selatan mencari tempat yang baik untuk bertapa. Karena ketekunan dan keyakinan akan nasehat dari Raja Mataram itu akhirnya Dewi Lanjar dapat moksa ( hilang ) dan dapat bertemu dengan Ratu Kidul.
Dalam pertemuan itu Dewi Lanjar memohon untuk dapat menjadi anak buahnya, dan Ratu Kidul tiada keberatan. Pada suatu hari Dewi Lanjar bersama jin - jin diperintahkan untuk mengganggu dan mencegah Raden Bahu yang sedang membuka hutan Gambiren ( kini letaknya disekitar jembatan anim Pekalongan dan desa Sorogenen tempat Raden Bahu membuat api ) tetapi karena kesaktian Raden Bahu, yang diperoleh dari bertapa Ngalong ( seperti Kalong / Kelelawar ), semua godaan Dewi Lanjar dan jin - jin dapat dikalahkan bahkan tunduk kepada Raden Bahu. Karena Dewi Lanjar tiada berhasil menunaikan tugas maka ia memutuskan tidak kembali ke Pantai Selatan, akan tetapi kemudian memohon ijin kepada Raden Bahu untuk dapat bertempat tinggal di Pekalongan. Oleh Raden Bahu disetujui bahkan pula oleh Ratu Kidul. Dewi Lanjar diperkenankan tinggal dipantai utara Jawa Tengah terutama di Pekalongan. Konon letak keraton Dewi Lanjar terletak dipantai Pekalongan disebelah sungai Slamaran.